untukmu, aku datang malam ini
dan seperti biasanya, kucintai malam yang tergerai
dari rambutmu yang menderaikan gerimis kerinduan
maka lihatlah, udara yang menjejali jiwaku menjadi beku
gelap telah jelmakan kita serupa bayang-bayang
menangkap gairah dalam setiap desah rindu yang basah
dan tentu gelisah
kini, tubuhku telah berganti hujan dengan
titik-titik rindu yang mengalirkan keheningan.
maka mengertilah
ketika hujan yang memenuhi matamu mulai terhenti
kita pun akan kembali semedi
dalam pertemuan yang azali....
Surabaya, 14 Februari 2010 | 00:30 dini hari
dan ketika rindu hanya menggantung di pucuk-pucuk daun,
jahir kita leluasa berdoa bersama subuh putih, senja saga, juga dluha...
lantas seperti apa aku?
layak batu, pecah tetap menjadi batu.
lantas bagaimana kukenalkan diriku? sedangkan aku tak memiliki apapun selain mimpi-mimpi bintang hati.....
lantas apa pula yg menjadi bebanku?
padahal malaikat hanya mencatat gerak-gerak sesudah.
kenapa masih kurisaukan banjir penaku?
jika aku menulis,
bisakah tulisanku dibaca?
jika aku melukis,
adakah bermakna?
bodohkah aku
bila untukmu aku datang malam ini...
Bandung, Min pukul 21:20
Pujangga Kesasar
MAsih tentang Rindu -buat : istianah bintang hatiku-
rindu ini akhirnya mengantarkanku pada musim yang membuatku lupa jalan pulang, karena pada muram jendela kamarmu, kuhembuskan bisikan paling curam. lalu rerintik resah di kelopak matamu berguguran dalam diam.
seperti yang sering kau ceritakan; tentang rindumu pada rembulan, juga jalan setapak penuh ilalang, tanpa kemarau yang mengeringkan kerinduan. maka kenapa kita selalu bicara tentang hati, bila sebilah puisi hanya menunggui kematian kita di ujung pagi?
istianah, bentangkanlah riwayatku pada helai rerumputan, di setiap perempatan jalan dengan tandus bebatuan. dan setiap kali kau pandangi jendela kamarmu, katakan dengan lantang; ini masih tentang rindu, yang teriris-iris waktu tanpa dendam.
lantas seperti apa aku? katamu, pada selembar kerinduan. layak batu, pecah tetap menjadi batu. lantas bagaimana kukenalkan diriku? sedangkan aku tak memiliki apapun selain mimpi-mimpi bintang hati. lantas apa pula yg menjadi bebanku? padahal malaikat hanya mencatat gerak-gerak sesudah.
itulah makrifat rindu, jawabku, di hulu waktu. dan jelentik airmata yang mengalir di teluk kalbumu adalah geletar grimis yang mengisyaratkan lembar-lembar gelisah untuk berdendang menjadi sajak.
maka, istianah, jangan lupa untuk selalu kau pakai baju malammu. bacalah pula gurindam doa yang kau cipta tanpa aksara. karena barangkali ibumu lupa mengingatkan; rindu kadang membuat kita lupa jalan pulang.
jika sajak-sajakku mampu melumat perih, bacalah. hingga tubuhmu benar-benar milik hari-hari bisu: waktu dimana hikayat kita telah menjadi tugu, ingatlah; sajak-sajaku, masih tentang rindu.
Surabaya, 17 Februari 2010 11:12 wib.
lantas seperti apa aku?
layak batu, pecah tetap menjadi batu.
lantas bagaimana kukenalkan diriku? sedangkan aku tak memiliki apapun selain mimpi-mimpi bintang hati.....
lantas apa pula yg menjadi bebanku?
padahal malaikat hanya mencatat gerak-gerak sesudah.
kenapa masih kurisaukan banjir penaku?
jika aku menulis,
bisakah tulisanku dibaca?
jika aku melukis,
adakah bermakna?
bodohkah aku
bila untukmu aku datang malam ini...
Bandung, Min pukul 21:20
Pujangga Kesasar
MAsih tentang Rindu -buat : istianah bintang hatiku-
rindu ini akhirnya mengantarkanku pada musim yang membuatku lupa jalan pulang, karena pada muram jendela kamarmu, kuhembuskan bisikan paling curam. lalu rerintik resah di kelopak matamu berguguran dalam diam.
seperti yang sering kau ceritakan; tentang rindumu pada rembulan, juga jalan setapak penuh ilalang, tanpa kemarau yang mengeringkan kerinduan. maka kenapa kita selalu bicara tentang hati, bila sebilah puisi hanya menunggui kematian kita di ujung pagi?
istianah, bentangkanlah riwayatku pada helai rerumputan, di setiap perempatan jalan dengan tandus bebatuan. dan setiap kali kau pandangi jendela kamarmu, katakan dengan lantang; ini masih tentang rindu, yang teriris-iris waktu tanpa dendam.
lantas seperti apa aku? katamu, pada selembar kerinduan. layak batu, pecah tetap menjadi batu. lantas bagaimana kukenalkan diriku? sedangkan aku tak memiliki apapun selain mimpi-mimpi bintang hati. lantas apa pula yg menjadi bebanku? padahal malaikat hanya mencatat gerak-gerak sesudah.
itulah makrifat rindu, jawabku, di hulu waktu. dan jelentik airmata yang mengalir di teluk kalbumu adalah geletar grimis yang mengisyaratkan lembar-lembar gelisah untuk berdendang menjadi sajak.
maka, istianah, jangan lupa untuk selalu kau pakai baju malammu. bacalah pula gurindam doa yang kau cipta tanpa aksara. karena barangkali ibumu lupa mengingatkan; rindu kadang membuat kita lupa jalan pulang.
jika sajak-sajakku mampu melumat perih, bacalah. hingga tubuhmu benar-benar milik hari-hari bisu: waktu dimana hikayat kita telah menjadi tugu, ingatlah; sajak-sajaku, masih tentang rindu.
Surabaya, 17 Februari 2010 11:12 wib.
0 Jejak:
Posting Komentar