Sabtu, Mei 29, 2010

Nizar Qabbani : Antara Tragedi, Cinta & Pengasingan

Oleh Irfan Zakki Ibrahim
taken from Afkar NU Mesir 


Photobucket


“Nizar, kau benar-benar sesuatu yang baru dan asing dalam dunia kita!
(Fuad Anjaini, Menteri Pendidikan Syria)
  
Apapun bentuknya, seluruh puisi Arab modern, pada dasarnya adalah klasik. Benar bahwa beberapa dekade terakhir, para sastrawan Arab telah berupaya melakukan eksperimentasi massif untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi yang rigid dan memaksa. Namun fakta menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya terlepas dari konvensi sastra klasik. Puisi-puisi Arab modern masih menggunakan bentuk bahasa dan pengucapan klasik (fushhah). Padahal, realita modern menunjukkan semakin terbentangnya jarak antara penggunaan bahasa Arab fushhah dengan kebahasaan sehari-hari. Hal ini merupakan akibat dari kian terdiferensiasinya bahasa Arab dalam berbagai macam dialek, dipengaruhi perbedaan–geografis, politis, dan kultural.


Kondisi terkini memperlihatkan bahwa bahasa Arab fushhah kian termarginalkan. Fushhah tumbuh menjadi bahasa yang lingkup penggunaannya terbatas pada dunia formal; pendidikan, administrasi kenegaraan, serta ragam tulis. Jarak antara bahasa keseharian dan bahasa fushhah ini tentu menyebabkan munculnya potensi keterasingan puisi atau gaya ungkap puisi modern dari lingkungan sosiologis. Akibatnya, puisi kian sulit dipahami, terutama oleh orang-orang yang berada di luar lingkungan tempat bahasa fushhah digunakan.


Jika dilihat dalam konteks ini, maka penting untuk membicarakan eksperimentasi dan capaian estetik Nizar Qabbani, penyair Syria yang terpaksa bermigrasi ke Inggris karena tekanan dari pemerintahan yang represif. Sebagian karyanya, antara lain yang terkumpul dalam antologi-antologi seperti Habâbati, Qâlat li al-Samra, Anti Li, menunjukkan adanya eksperimentasi untuk menggunakan ungkapan-ungkapan populer tanpa terjebak dalam bahasa Arab pasaran (‘âmiyah). Novelis Mesir, Gamal Gittani, berujar, “Nizar memberikan kemajuan besar pada dunia perpuisian Arab karena ia berhasil membuat puisinya dipahami oleh semua orang, bukan hanya kelompok-kelompok tertentu.”


Hal lain yang membuat puisi Nizar tampak istimewa adalah pilihannya pada tema cinta. Dengan tema ini ia menjadi salah satu penyair paling dikenal publik sastra Arab, bahkan oleh kaum perempuan Arab yang selama ini asing dari dunia puisi. Berbeda dengan tema cinta dalam puisi-puisi klasik yang cenderung primitif, penuh dengan kenangan dan ratapan, mendayu-dayu, serta kurang menampilkan visi pribadi, tema cinta yang diangkat Nizar Qabbani sangat bertolak belakang. Dengan strategi literernya yang berusaha mendekatkan puisi pada massa umum, Qabbani meniupkan vitalitas baru pada tema-tema percintaan. Puisi cinta Qabbani adalah puisi yang sederhana, langsung, jelas, kadang sedikit erotis namun tetap menyimpan kedalaman emosi. Bahasa keseharian diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan efek-efek tertentu dalam puisi-puisi cintanya. Gabungan kedua hal ini membuat puisi-puisi Qabbani kerap dipakai sebagai lirik para penyanyi Arab mulai dari Umm Kultsum dan Farid al-Atrash hingga penyanyi-penyanyi dari generasi yang lebih muda seperti Magda Roumi dan Kazeem el-Sahir.


Selain percintaan, Nizar Qabbani juga piawai dalam mengolah tema-tema politik. Pergeseran tema Nizar ini terjadi sejak kekalahan yang diderita negara-negara Arab pada Perang Arab-Israel tahun 1967. Dengan puisi-puisinya, ia mengkritik para penguasa negara-negara Arab yang ia nilai hanya berani melawan rakyatnya yang lemah.


Nizar Qabbani dan Kehidupannya: Di Balik Pengasingan, Petualangan, dan Tragisme
Nizar Qabbani lahir di Damaskus pada 21 Maret 1923. Sejak kecil, ia tumbuh dalam keluarga yang lekat dengan diskusi-diskusi politik. Ayahnya, Taufiq Qabbani, adalah seorang pedagang sukses sekaligus aktivis kemerdekaan Syria. Ketika Syiria dijajah oleh Prancis (1920-1946), ayahnya rajin mengorganisir pertemuan para tokoh nasionalis dan memberi donasi bagi gerakan perlawanan. Tak jarang, rumahnya menjadi tempat pertemuan sekaligus perlindungan para aktivis politik yang diburu oleh Prancis. Namun, aktivitas ini berujung pahit ketika ayahnya diseret ke dalam penjara oleh otoritas Prancis.


Tragedi kehidupan Nizar dimulai ketika berusia 15 tahun. Saat itu, kakak perempuannya bunuh diri karena menolak dinikahkan dengan lelaki yang tidak dicintainya. Ini merupakan peristiwa luar biasa dalam konstruk sosial Arab waktu itu. Dalam masyarakat Arab yang patriarkis, sosok ayah merupakan pusat kehidupan keluarga. Ia memegang otoritas penuh atas anggota keluarga lain. Jarang terjadi perlawanan dan penyangkalan terhadap kuasa dan otoritas ayah.
Dalam kasus keluarga Nizar, keputusan kakak perempuannya untuk bunuh diri adalah satu bentuk eskapisme dan penentangan yang mencerminkan keinginan memberontak. Kebebasan yang terenggut harus ditebus meskipun dengan jalan mengorbankan kehidupan itu sendiri. Semangat inilah yang diserap Nizar dan kemudian ditransformasikan dalam karya-karyanya. Penghargaan tinggi terhadap kebebasan, misalnya, dapat kita jumpai dalam salah satu puisinya yang berjudul Ankahtuki Yâ Ayyatuha al-Hurriyah.


Kematian kakaknya ini juga mendorong kesadaran Nizar untuk lebih memperhatikan problema perempuan, cinta, pemberontakan, serta membentuk sensitivitas tersendiri dalam kehidupannya. Dua hal, perempuan dan cinta, menjadi tema utama dalam karya-karya awalnya sementara semangat pemberontakan menjadi ruh yang ada dalam setiap karyanya. Cinta, menurut Nizar, tidak akan pernah bisa tumbuh dalam sebuah lingkungan yang penuh dengan tekanan.


Bagaimana aku bisa mencintaimu, kekasihku
Jika agen keamanan nasional
Memenjarakan impian
dan mengirim
orang-orang yang dipenuhi gairah
ke pengasingan

(Sajak Tulisan di Pengasingan)


Bagi Nizar, kebebasan, kesetaraan, dan kehormatan merupakan syarat mutlak bagi tumbuhnya hubungan cinta yang sehat antara dua orang. Jikalau syarat-syarat ini tidak bisa diwujudkan, maka jalan satu-satunya adalah memberontak atau menjauh dari sistem yang tidak bisa menjamin kebebasan dan kehormatan manusia.


Bukan hanya bunuh diri kakaknya yang menjadi pengalaman pahit dalam hidup Nizar. Umar, anak lelakinya, meninggal ketika tengah kuliah kedokteran di Mesir, sedangkan istrinya, Balqis al-Rawi, seorang wanita Irak, terbunuh ketika perang sipil tahun 1981 berkecamuk di Libanon.


Kesan kematian anaknya dituangkan dalam Ila al-Amîr al-Dimashqi Tawfîq al-Qabbani (Untuk Taufiq Qabbani, Sang Pangeran Damaskus). Sedangkan untuk mengenang istrinya, Nizar menulis Balqis, puisi paling rumit dan emosional yang pernah ditulisnya.


Meski peristiwa tragis kerap kali hinggap dalam hidupnya, namun pada akhirnya Nizar berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Syria pada tahun 1944. Satu tahun kemudian, ia diangkat sebagai diplomat Syria di Mesir hingga tahun 1948. Dari Mesir, karir diplomatiknya meluncur ke Turki dan akhirnya berakhir sebagai Konsul Syria di London, Inggris, tahun 1952. Di sinilah Nizar berkenalan dengan kesenian, budaya, dan gaya hidup Eropa. Pada tahun 1966, ia memutuskan berhenti dari Dinas Luar Negeri Syria dan tinggal di Beirut untuk mempersembahkan hidupnya pada satu-satunya hal yang dicintainya; puisi.


Di Beirut, aktivitas kesenian Nizar mengalami peningkatan yang luar biasa. Di kota ini, puisi-puisi Nizar menjadi lebih politis. Kesadaran politiknya tergugah ketika menyaksikan kekalahan bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1967. Ia terus menulis tentang kekalahan Arab dan melontarkan kritik keras pada Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dengan mengatakan bahwa Nasser telah menggiring bangsa Arab ke jalan yang salah. Pada tahun 1967, Nizar menerbitkan salah satu masterpiece-nya Hawamisy ‘ala Daftâr al-Naqsha (Margin Buku Catatan Kekalahan) yang dilarang terbit di Mesir. Tahun 1977 karya-karyanya kembali dilarang beredar di Mesir akibat kritik kerasnya terhadap kunjungan Presiden Anwar Sadat ke Israel. Dalam puisinya Min Yaumiyat Bahiya al-Masriyya (Dari Diary Bahiya, Si Orang Mesir) ia menyebut Sadat sebagai agen Israel gila yang memperkosa Mesir.


Pertikaian Nizar dengan para pemimpin Arab terus berlanjut. Tahun 1970 giliran Raja Husain dari Yordania mendapat kritikan Nizar karena membantai orang-orang sipil Palestina yang tinggal di Amman saat terjadi Perang Yordania-Palestina. Sementara itu, meski ia tak berkonfrontasi dengan pemerintah Saudi, namun puisi-puisi cintanya dilarang beredar di Saudi karena dianggap amoral dan sehingga tidak pantas dibaca oleh orang Muslim.


Dekade 1970-an adalah masa-masa di mana Nizar menerbitkan sebagian besar karya kontroversialnya. Di tahun 1970, ia menulis Qashâ`id Mutawahisha (Kasidah-kasidah Liar) serta menulis Asy'âr Khârijah ‘An al-Qanûn (Sajak-sajak Nakal) di tahun 1972. Tahun 1979, terbit salah satu puisi best seller-nya yang kemudian diubah ke dalam lagu oleh penyanyi Irak Kazem al-Saher dengan judul Asyhadu an lâ Imrâ`atan Illa Anti (Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau). Memasuki dasawarsa 80-an, ia banyak menulis puisi-puisi politik yang dikumpulkan dalam antologi Qashâ`id Maghdûb ‘Alayha yang diterbitkan tahun 1986. Di tahun yang sama, ia menerbitkan Tazawwajtuki Ayatuha al-Huriyya (Kupinang Kau, Oh Kebebasan) dan Jumhûriyyât Junûnistan (Republik Kegilaan). Sementara salah satu karyanya yang menjadi legenda, al-Kibrît fi Yadi wa Duwaylatikum Min Waraq (Pemantik di Tanganku Sedangkan Negaramu yang Kecil Terbuat dari Kertas), terbit tahun 1989. 


Pada dekade ini pula Nizar Qabbani bermigrasi ke London karena kehidupan di negeri-negeri Arab dianggapnya tidak memungkinkan lagi. Di London, secara teratur ia menulis untuk koran lokal berbahasa Arab, namun kemudian memutuskan untuk mendirikan penerbitan sendiri setelah saham koran tersebut dibeli oleh pemerintah Saudi dan ia dilarang mempublikasikan tulisan-tulisannya. Kaki tangan pemerintah negara Arab yang terus berusaha menjangkau, menekan, dan mengintimidasinya dengan bermacam cara, membuatnya terpaksa hidup dalam keterasingan. Ia terus hidup dengan cara itu hingga hari kematiannya, 30 April 1998. Di masa-masa akhir hidupnya, Nizar masih sempat mengkritik para penguasa dan menulis karya. Akibat menandatangani perdamaian Oslo, Yasser Arafat dianggap oleh Nizar telah menuntun bangsa Arab menuju perdamaian yang dicapai dengan kelemahan ketika orang-orang Arab membutuhkan perdamaian yang dicapai dengan penuh keberanian dan kehormatan sehingga mampu meningkatkan moral dan kepercayaan diri mereka. Sedangkan gubahan terakhirnya yang memukau adalah Dimasyq Tuhdini Shari'an (Damaskus Menganugerahiku Sebuah Jalan).   


Setiap talenta luar biasa sejatinya adalah aset yang memperkaya kebudayaan suatu bangsa. Lebih jauh, karya-karya dan prestasi yang ditorehkan oleh orang-orang semacam itu merupakan kekayaan yang menyumbangkan rasa percaya diri dan kebanggaan bagi suatu bangsa. Para pemimpin Arab pun menyadari hal ini. Terlepas dari sikap-sikap semasa hidupnya, mereka menyadari bahwa Nizar Qabbani adalah sosok luar biasa yang menyumbangkan banyak hal pada bangsa Arab.


Karena kesadaran semacam itulah sedikit hiburan diterima Nizar Qabbani di akhir hayatnya. Ketika mengetahui Nizar Qabbani meninggal, para pemimpin Arab yang dulu memusuhinya sibuk menawarkan bantuan pada keluarga Nizar Qabbani. Di antara mereka ada yang meminta agar Nizar disemayamkan di negerinya, ada yang menawarkan bantuan dana untuk biaya rumah sakit, pesawat, dan berbagai bantuan lain. Di negara asal Nizar, Syria, Presiden Hafiz al-Asad menamai salah satu ruas jalan di Damaskus dengan nama sastrawan agung ini untuk menghormati prestasi dan karya-karyanya.


Sesuai wasiatnya, Nizar Qabbani dikebumikan di Damaskus. Upacara pemakamannya dilangsungkan seperti layaknya penghormatan pada seorang pahlawan. Ribuan orang meratap, ribuan orang berjejalan di jalanan Damaskus, lagu-lagu nasional didendangkan, ritual tradisional Damaskus dilangsungkan, dan lagu-lagu pujian dilantunkan untuk mengenang kehidupan Nizar Qabbani. Dalam sejarah Damaskus, pemakaman Nizar Qabbani ini adalah pemakaman pertama yang dihadiri oleh seluruh laki-laki dan perempuan Damaskus. Atas karya-karyanya, para kritikus Arab pun menjulukinya sebagai “Raja Penyair Arab” berbeda dengan Ahmad Shauqi yang dijuluki sebagai “Pangeran Para Penyair.”[]
 

3 Jejak:

Nta mengatakan...

tulisan yang menarik, bisa kasih judul buku referensinya

Semesta Renjana mengatakan...

Maaf yah...

Ini saya dapat dari situs web (Ada di tulisan) bukan dari buku :)

Anonim mengatakan...

Amazing..

Buku Tamu
Link To Me
Nasihat / Comment
Thiya's Plurk
Daftar Isi
   Koridor Silaturahim Semesta Sajak Renjana