04:47 AM
Aku tak butuh air mata tumpah
atau senyum rekah
jika sajak ini dibaca
Kau cukup merunduk saja
mengamini gerimis jatuh di mataku
agar sempurna menjadi hujan subuh sederas rindu
Gerimis itu bukanlah tetesan batu
ia embun pagi yang mengusap dahi daun kotorku
Sungguh tak bisa kubalas dengan air mata tulusku,
jujur tak bisa hempaskan keindahan yang menyenyumimu
Pagi ini indah, damai mewangi
Sekuntum bunga tebarkan rasa yang belum berkaca.
Kupejamkan mata,
lisan memaksa tanya
hati berharap rasa
meminta nyata!
Bidadari datang merasuki diri
mengerti hati.
Embun yang kau kata ada didahi daun
sekarang tampak jelas.
Putih; saling bersentuhan!
Mengecat benak dan lumbung semesta
Dan kini kau berhasil menjadi purnama
Gemercik bias mengalir ke seluruh penjuru angin
Memabukkan!
Ruh dan ragaku bersulang seperti halnya Rumi dan Syam.
Putih itu akan terus memutih
walau angin menaburkan debu
Bukan bersentuhan tapi
saling menyatukan antara semua perbedaan yang mengalir dalam rasa
Sinar itu bukan hanya tuk dipandang
tapi juga tuk disimpan dalam
Engkau menyingsing,
bulan menggasing
Semburat pijar cahaya asing begitu langsing menggoda
alam berdendang sayang
Subuh berkumandang
dalam darah!
dalam detak!
dalam denyut!
Aku tak seindah bulan purnama
Aku tak seterang sinar purnama
Aku datang dengan warna suram tak seterang cahaya yang kau pandang
Bulan itu pergi memang saatnya berganti
Bukan berarti datangnya cahaya matahari
Aku takut dengan makna
0 Jejak:
Posting Komentar